Topeng

Ia mencintai si dungu seperti seorang ibu kandung kepada anaknya. Si ibu yang tak memiliki anak laki-laki itu selalu sumringah atau tertawa jika mereka bersama. “Satu dungu saja mungkin tidak cukup, bu,” si anak berkata. “Aku akan jadi apapun seperti yang kau harapkan, nak,” jawab si ibu sembari tersenyum tulus.

Berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun mereka larut dalam tawa, tentu diiringi dengan makanan dan gunjingan sesekali. Begitu riuh sehingga terdengar hingga ke pelosok, pedalaman, dan pinggir hutan. “Aku akan membeli makanan lagi, bu, untuk dibawa pulang juga untuk anak-anakmu yang menunggu di luar kota sana atau mungkin perutmu lapar di angkot jalan pulang apalagi jika hujan dan angin puting beliung melanda yang akan memperparah macet menuju rumahmu.” “Tak salah memang hidupku bertopang padamu di sini, anak lelakiku,” si perempuan membalas.

Terkadang saya takut membayangkan kalau saya adalah si anak laki-laki. Lebih takut lagi jika saya menjadi si perempuan. Kalau diingat-ingat lagi kami ada miripnya; sama-sama memiliki gaji dan kerja di kantor hanya duduk-duduk.

Leave a comment