Reuni

Bulan Ramadhan di hari kedua puluh empat. Sengaja dipilih hari itu oleh ketua pelaksana agar semua teman dari perantauan pulang kampung. Karena hari itu tepat di hari kedua cuti bersama menjelang lebaran.

“Sialan, kenapa harus di rumah Hanif?” batinku sesaat setelah Wati mengabari tempat diselenggarakannya reuni angkatan kami. Dan Wati malah menantangku untuk datang. Dia ingin menguji kesempurnaan keluargaku-suatu hal yang selalu kudendangkan dan pastinya kubanggakan. Aku dan Wati bukanlah sahabat bukan pula musuh. Ada sebuah spasi yang menjalar dan mengakar di antara kami sejak di tahun pertama kuliah. Bahkan hingga hari ini.

Belasan tahun silam aku memenangkan sebuah sayembara: berhasil menggandeng komting angkatan kami. Komting yang tak bertampang Primus Yustisio tapi bekennya di kampus tak kalah dengan suami Jihan Fahira itu. Hingga pelaminan. Jodoh by conspiration?

Selanjutnya akan mudah sekali ditebak. Persahabatan Anto, suamiku, dengan Hanif bubar tanpa aba-aba. Bagaimana tidak, aku telah mem-PHP Hanif di semester ganjil pertama. Wati, bak bocah kalah dalam permainan monopoli melakukan serangkaian intrik. Bahkan acara besok sore itu pun tak lepas dari rangkulan intriknya. Setelah terpisah jarak dan waktu, manusia aneh bukan?

“Aku oke aja ke rumah Hanif loh, Sit. Terserah bagaimana kamunya,” dengan muka datar aku melirik Anto dengan ujung mata. Setidaknya otakku berputar mencari senjata pamungkas kalau-kalau Wati mengakali rencana busuk.

Aku dan Anto datang bertepatan ketika Wati tengah merangkul mesra Hanif. Rumah Hanif seperti disulap bukan saja untuk acara buka puasa ataupun reuni. Tapi ada kekhusyukan dalam aroma melati yang ditangkap hidungku. Mereka lalu berjalan ke tengah ruangan dan memproklamirkan pernikahan mereka. Drama apa pula ini, pikirku. Selayaknya sinetron, si antagonis kali ini diperankan oleh Wati. Di keriuhan enam puluh delapan orang teman angkatan, perempuan itu membuat gaduh dengan menceritakan sayembara sebelas tahun lalu itu. Seperti mayat, pucat pasi mendadak menghampiri mukaku, terbayang reaksi yang akan kuterima dari Anto. Sambil merangkul pinggangku dengan tangan kirinya, Anto berujar “aku telah diberitahu Hanif dua bulan lalu, Sayang. And I love your drama.”

Leave a comment