Jari-jemarinya tak henti menekan tuts hitam dan putih piano tua di sudut ruang keluarga itu, padahal ini bukan jam les privat pianonya. Siang pun makin gerah karena nada yang dimainkan seolah tanpa arah dan tanpa nada yang jelas. Untung tak ada orang lain yang mendengar, semua orang sibuk dengan urusan masing-masing, urusan yang mereka gadangkan sebagai titah Tuhan. “Tuhan itu menyuruh kita jangan melupakan dunia juga, kan.?” Ibunya pernah berdalih suatu ketika. Tak pelak, riuh nada pun melambai hingga tepian jendela. Hampa.
Dia tak pernah menganggap sebuah masalah adalah masalah, setidaknya bagi dirinya sendiri. Keterasingan membuatnya lebih tabah dari karang yang selalu terhempas. Tuhan tidak akan pernah meninggalkan umatnya, apalagi umat seperti dirinya.
Seolah terhipnotis atau memang karena tak berniat, dia tak sekali pun mengacuhkan nada lain yang berbunyi di atas meja makan. “Mungkin saja bedebah,” katanya dalam hati. “Bedebah akan tetap menjadi bedebah, dengan atau tanpa kedok orang tua,” pesan yang ia percayai disampaikan oleh malaikat pada suatu malam dalam mimpinya.
Neraka tanpa tepi. Tanpa api. Rumah yang memberinya kehangatan keluarga. Awalnya. Tidak setelah ibu menikah dengan Baros atau Barus, tiga tahun lalu atau empat tahun lalu, entahlah. Yang pasti laki-laki itu telah mengambil keperawanannya, pun ingatannya.
Wow, gila singkat tapi bagus banget.
Kagum sama caramu ngasih twist di akhir, inti ceritanya di alinea terakhir ya, paragraf-paragraf sebelumnya seolah-olah berubah makna setelah baca paragraf terakhir.
Hebaat.. :O
LikeLike
cara bercerita yang bagus. Mampu membuat pembaca terhenyak setelah beberapa saat nyaris bosan karena tak tahu tulisan tadi akan kemana
LikeLike
nice post, salam kenal
LikeLike